eksposisiborneo.com, Kubar : Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur (Kaltim), Rudiansyah menerangkan, untuk pemberian sanksi terkait kasus pencemaran lingkungan tentu butuh proses.
Hal itu menyikapi kasus pencemaran limbah Pabrik Kelapa Sawit PT Agro Manunggal Selaras (AMS) / PT Borneo Citra Persada Jaya (BCPJ) yang terjadi di Sungai Lawa, Kampung Suakong Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat (Kubar). Dimana sampai saat ini DLH Kubar belum memberikan sanksi Pabrik Kelapa Sawit tersebut.
Menurut Rudiansyah, terkait sanksi pencemaran memang tidak ada batas atau tergantung Standar Operasional Prosedur (SOP) yang digunakan di Instansi bersangkutan.
“Tidak bisa juga cepat atau lambat karena harus di analisis dulu prosesnya. Artinya hasil analisis di lapangan, itu kita tuangkan permasalahan atau pun hal-hal yang tidak sesuai terkait dokumen lingkungan, maupun peraturan yang berlaku. Nah karena ini kewenangannya Kabupaten Kubar, maka semua di kerjakan oleh DLH Kabupaten Kutai Barat, termasuk soal sanksi ini,” kata Rudiansyah, Rabu (17/7/2024).
Namun demikian Rudi menjelaskan, terkait sanksi pencemaran lingkungan, ada 5 sanksi administrasi yang bisa diterapkan, yakni Teguran Tertulis, Paksaan Pemerintah, Denda Administratif, Pembekuan Izin sampai Pencabutan Izin.

“Tapi sekarang kan soal izin sudah tidak ada lagi di Lingkungan Hidup. Jadi paling maksimal Denda Administratif, tapi prosesnya atau tata cara dari denda administratif ini juga belum final. Paling nanti Paksaan Pemerintah kalau memang terjadi pencemaran,” jelasnya.
Artinya lanjut Rudy, kemungkinan besar dalam kasus pencemaran Sungai Lawa di Kampung Suakong, ada 3 sanksi yang bisa diterapkan oleh DLH Kutai Barat yakni Teguran Tertulis, Paksaan Pemerintah dan Denda Administratif.
“Kalau dia minor-minor, dia teguran tertulis. Tetapi apabila dia sedikit Major (besar) dan harus memang benar-benar di perbaiki, maka dia harus dipaksa atau sanksi Paksaan Pemerintah,” lanjutnya.
Sanksi Paksaan Pemerintah ini, sesuai dengan Surat Keputusan yang di keluarkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup atau oleh Bupati/Walikota yang di Delegasikan kepada Kepala Dinas LH.
“Nah di SK itu, merupakan paksaan pemerintah untuk melaksanakan perbaikan A, B, C sesuai dengan hasil temuan di lapangan,” pungkas Rudiansyah. (eb)