eksposisiborneo.com, Kubar : Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 39 tahun 2010, tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan, bahwa setiap perusahaan wajib melaksanakan kebun kemitraan (plasma).
Peraturan ini sudah dilaksanakan oleh PT Maha Karya Bersama (MKB), salah satu perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang beroperasi di Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), yakni di Kampung Jerang Melayu, Kecamatan Muara Pahu.
Namun, pola kemitraan yang dilakukan oleh PT MKB bersama petani plasma dibawah naungan Koperasi Sejahtera Etam Bersama, dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan pengurus dan anggota tidak lebih hanya sekedar nama dalam struktur kepengurusan koperasi, sementara pengelolaan diambil alih oleh perusahaan.
Parahnya, pendamping Koperasi Sejahtera Etam Bersama, Mateus Ancah, mengaku bahwa kebanyakan petani tidak tahu soal kesepakatan besaran bagi hasil kebun plasma yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, bahkan dinilai tidak sesuai ketentuan yang berlaku.
“Contoh, mereka memberikan dana talangan sebesar Rp 150 ribu per hektar. Ini kan tidak sesuai ketentuan. Jadi sampai kapan pun, masyarakat plasma di Kampung Jerang Melayu, tidak akan menikmati yang namanya sejahtera atau peningkatan ekonomi,” Kata Mateus Ancah, saat mendampingi Petani plasma Jerang Melayu, pada hering bersama DPRD Kutai Barat, Selasa (21/1/2025).
Seharusnya menurut Ancah, skema bagi hasil kebun plasm sawit dihitung berdasarkan tonase, bukan dana talangan seperti yang selama ini diterapkan oleh PT MKB, dimana petani hanya tahu dibayar Rp 150 ribu per hektar.
“Saharusnya tonase, bukan dihitung yang mereka bilang Sisa Hasil Usaha (SHU) lah, ada bilangnya talangan lah. Ini kan Bahasa yang mengaburkan, atau kasarnya kayak bilangnya Roky Gerung itu, ‘dungu’, supaya kita itu tidak paham,” ungkapnya.

Hutang Petani Plasma Jerang Melayu Tak Akan Lunas
Tidak hanya itu, melalui skema bagi hasil yang diterapkan oleh perusahaan ini pula, petani plasma di bawah binaan Koperasi Sejahtera Etam Bersama, harus menanggung hutang yang tidak jelas pelunasannya, dengan angka mencapai Rp 67 miliar.
“Selama ini mereka tidak tahu, berapa beban hutang mereka, berapa beban pengelolaan kebun, mereka tidak tahu. Hutang itu ditetapkan oleh Dirjenbun, untuk nilai pembangunan kebun, tidak serta merta perusahaan menyampaikan ke koperasi Rp 100 juta atau Rp 90 juta per hektar biaya perawatannya, 2 plus 5. Ini yang menjadi beban petani plasma, hutangnya tidak akan lunas sampai kapanpun,” jelasnya.
Padahal menurut Ancah, secara perhitungan teknis perkebunan plasma, seharusnya hutang itu lunas pada tahun ke 10, dihitung mulai dari tahun tanam. Sayangnya, hal itu tidak dirasakan oleh petani plasma di Kampung Jerang Melayu, sudah 13 tahun, mereka masih harus menanggung beban hutang.
“Dari tahun tanam, biasanya 3 tahun dia belum berbuah, 7 tahun panen, makanya tahun ke 10 sudah lunas, dihitung dari mulai tanam. Sementara perusahaan tidak, dia menghitungnya dari mulai panen, makanya bisa 12 sampai 13 tahun. Jadi ini sudah pembodohan namanya,” tegas Ancah.
Hal itu menurutnya, berdasarkan pola perhitungan melalui bagi hasil yang tepat, sesuai hasil produksi kebun plasma. Bukan seperti dilakukan oleh PT MKB, bahkan petani tidak tahu berapa jumlah hutang yang sudah dibayarkan, dan berapa jumlah sisa hutang.
“Ada tiga bagian, pertama untuk dana perawatan, itu biasanya itu 30 persen. Terus untuk pengembalian bunga dan cicilan pokok, itu 30 persen. Kemudian untuk petani 30 persen, 5 persen ke perusahaan dan 5 persennya lagi ke koperasi. Nah sekarang ini yang menjadi tidak enak bagi petani plasma, hanya di kasih Rp 150 ribu per hektar, tidak menghitung nilai berapa tonase nya,” Jelas Ancah.
Ancah menyebut, total luasan kebun plasma di PT MKB, yakni kurang lebih 560 hektar, dengan hasil produksi sekitar 2 ton per hektar, dan kebun plasma tersebut sudah dikelola sejak tahun 2012 silam. (redaksi/eb)