eksposisiborneo.com, Kubar : Berdasarkan perhitungan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, tercatat kerugian Negara dalam kasus dugaan korupsi bantuan KWH Listrik di Kutai Barat (Kubar) mencapai Rp 5,2 miliar dari pagu anggaran sebesar Rp 10,7 miliar, .
Anggaran pengadaan KWH listrik itu menggunakan APBD Kutai Barat tahun 2021. Dimana dana miliaran rupiah tersebut seharusnya digunakan untuk mengadakan 2.028 buah KWH meter listrik bagi masyarakat kurang mampu.
Namun dalam pelaksanaannya, disalahgunakan oleh sejumlah oknum sehingga sebagian besar KWH listrik tidak pernah terpasang untuk masyarakat miskin, dan saat ini perkaranya sudah ditangani oleh Pengadilan Negeri Tipikor Samarinda, dengan dua orang terdakwa yakni (RA) Mantan Kadisnakertrans Kubar dan (SA) sebagai Kontraktor atau Yayasan Penerima Hibah.
Dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan di Pengadilan Negeri Tipikor Samarinda, Kamis (10/10/2024), ada 3 dari 7 saksi yang dipanggil disebut-sebut mangkir dari persidangan. Salah satunya adalah Mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kubar, Sahadi.
Sahadi Bantah Mangkir dari Sidang KWH Listrik
Berkaitan hal itu, Sahadi membantah bahwa dirinya mangkir dari panggilan sidang, sebab sebagai Calon Bupati, tentu Ia disibukkan dengan kegiatan kampanye karena harus bertatap muka langsung dengan masyarakat.
“Kita kemarin sudah susun jadwal kampanye, kita tahu bersama kalau jadwal kampanye ini kan ketat dan waktunya terbatas hanya beberapa bulan. Itu sudah kita susun semua dan sudah kita sampaikan ke Kampung-kampung dimana tempat kita akan kampanye,” kata Sahadi, Sabtu (12/10/2024).
Bahkan menurut Sahadi, dirinya sudah berkonsultasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Barat, karena tidak bisa hadir memenuhi panggilan sidang.
“Bilang mereka suruh buat surat, ya kita sudah buat surat. Jadi bukan mangkir seperti yang dikatakan itu,” tegasnya.
Sebelumnya, Sahadi mengaku sudah di periksa sebanyak 3 kali sebagai mantan Kepala BKAD Kutai Barat oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terkait, sehingga tidak ada alasan untuk mangkir.
“Jadi kalau untuk takut menghadapi proses ini, tidak ada. Apalagi dalam ketentuan hibah ini kan di teknisnya, bukan di BKAD lagi. Sekarangkan hibah-hibah itu langsung di bawah OPD teknis, nah OPD teknisnya kemarin siapa? Ya Kesrasos,” tandas Sahadi.
BKAD Kubar Hanya Melakukan Proses Pembayaran
Artinya lanjut Sahadi, dalam kasus dugaan korupsi dana hibah KWH listrik ini, tidak ada kaitan langsung dengan BKAD, karena dalam kasus itu BKAD hanya melakukan proses pembayaran atas pekerjaan proyek tersebut.
“BKAD hanya masuk tim anggaran saja. Namanya di tim anggaran itukan, yang mengajukan prosesnya ya dari dinas teknis. Kalau tim anggaran itu hanya menyetujui, ya atau tidak nya saja,” terangnya.
Calon Bupati Kubar Nomor Urut 3 itu menyadari bahwa dalam kasus ini, ada pihak yang sengaja menyudutkan seolah-olah BKAD yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan proyek KWH listrik tersebut. Padahal jelas, dalam proses penganggaran, ada yang namanya Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
“Nah siapa-siapa yang di dalamnya itu ya termasuk ketuanya Sekda, itu prosesnya. Jadi BKAD itu hanya proses membayar saja,” lanjut Sahadi.
Kata Praktisi Hukum Yahya Tonang Saat Diminta Tanggapannya

Sementara itu, praktisi Hukum, Yahya Tonang saat diminta tanggapannya melalui telpon seluler terkait kasus ini menjelaskan bahwa, siapapun pihak yang terkait dalam kasus tersebut, termasuk saksi yang dipanggil pada prinsipnya harus dipatuhi.
“Pengadilan itu kan di atas segalanya, istilahnya itu wakil tuhan lah. Jadi kalau memang panggilan itu resmi atas perintah hakim dan ada suratnya di pihak Kejaksaan untuk memanggil, ya memang pada prinsipnya harus dipatuhi,” kata Tonang.
Hanya saja dalam kasus ini, Ia melihat ada semacam “trobosan hukum” yang menggelitik dilakukan oleh hakim pengadilan, yakni terkait proses pemanggilan saksi dalam kasus tersebut.
“Biasanya pembuktian itukan kewajiban jaksa. Jadi jaksa itu menghadirkan kualitas, bukan kuantitas. Artinya kalau dua orang saksi saja menerangkan sudah cukup, ya udah. Tidak perlu lagi saksi lainnya dipanggil semua,” terang Tonang.
Tumben lanjut Tonang, dalam kasus ini hakim merintahin jaksa untuk memanggil saksi. Karena kebanyakan dalam persidangan, sekalipun pengacara meminta untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan, hakim hanya berkomentar, “hak pembuktian itu hanya ada pada jaksa”.
“Artinya kalau menurut jaksa pembuktian itu sudah cukup ya udah, tinggal dituangkan saja dalam pledoi, tidak perlu lagi panggil-panggil orang. Makanya dalam perkara ini, aku agak Waw aja,” pungkas Yahya Tonang. (eb)